|
?
POSISI POLRI DIPEREBUTKAN
oleh : Redaksi [ 2007-03-22 08:05:28 ]
Oleh : Kompol. Totok Suharyanto, Sik, MHum ( Kasubag Reskrim Polwil Malang)
Wacana reposisi Polri dibawah salah satu departemen, apakah Departemen Dalam Negeri, Depkum Ham, Menpan atau kembali dibawah Departemen Pertahanan, kembali diperdebatkan pada tataran elit. Munculnya wacana reposisi Polri dikaitkan dengan adanya RUU Kamnas yang menyebutkan Polri memegang otoritas operasional keamanan dalam negeri, otoritas politik tetap dipegang institusi sipil.
Meskipun konsep RUU Kamnas khususnya dalam klausal reposisi Polri masih belum final dan masih bersifat dinamis dan fleksibel,namun manakala tidak disikapi dengan bijaksana akan berdampak pada resistensi Polri terhadap RUU tersebut. Berbagai pro dan kontra terhadap kedudukan Polri dengan berbagai alasan yang mendasarinya, merupakan konsekuensi dari ekses alam demokrasi. Alasan dalam rangka menghindari konflik antara TNI/Polri, terciptanya mekanisme kontrol/ pengawasan kinerja dan penggunaan anggaran Polri, alasan untuk menghindari Polri sebagai alat kekuasaan Presiden dan menghindari kepentingan intervensi terhadap tugas-tugas Kepolisian. Merupakan pikiran-pikiran yang mendasari kelompok pro terhadap wacana posisi Polri berada di bawah satu Departemen.
Sekilas secara kasat mata berbagai alasan yang dijadikan rujukan reposisi Polri seolah masuk logika, namun apabila dibenturkan pada suatu pertanyaan yang mendasar apakah dengan Polri bukan langsung dibawah Presiden namun dibawah koordinasi satu departemen dapat dipastikan atau dijamin konflik TNI dan Polri, intervensi, mekanisme kontrol, akan jauh lebih baik dibanding posisi Polri saat ini, tentu kalau kita masih berpikir rasional dengan memperhitungkan risk yang ada tidak akan berani menjamin terhadap pertanyaan itu. Permasalahan yang kedua adalah seberapa urgent reposisi Polri kembali menjadi wacana, sedangkan kalau kita mau jujur berbagai keberhasilan operasional seperti pengungkapan teroris DR. ASHARI, BBM, Illegal loging, Perjudian cukup signifikan perkembanganya, disatu sisi penegakan hokum dan pembenahan internal melalui Bid Propam membawa effect detterance terhadap personil Polri yang tidak ingin mendapatkan punishment. Mungkin kita sependapat bahwa yang dibutuhkan Polri dan masyarakat komunitas umum adalah kinerja Polri yang berbasiskan pemenuhan harapan masyarakat, yang sering diukur sebagai bagian bentuk profesional dan proporsional tugas-tugas Kepolisian. Kalau dianggap bahwa kinerja Polri saat ini belum memenuhi kriteria optimal sebagai Polri yang profesional dan proporsional maka bukan secara otomatis posisi Polri yang dipermasalahkan. Repotnya banyak orang yang tidak tahu persis Polri itu seperti apa dan harus diapakan seolah kalau berpendapat mereka jauh lebih paham tentang Kepolisian dibanding personil internal Polri itu sendiri, sedangkan kalau kita mau berpikir jernih dan mau mengakui kelebihan institusi, yang mengetahui secara mendetail dan persis tentang kinerja dan harus bagaimana institusi Polri tentu internal personil Polri itu sendiri, dengan tidak mengabaikan kritik, masukan dan solusi dari berbagai pihak untuk kemajuan Polri.
Kembali kepada berbagai alasan yang pro terhadap kedudukan Polri dibawah suatu departemen, penulis mencoba mengkritisi dengan pendekatan empiric dilapangan :
a. Apabila yang dijadikan alasan untuk menghindari konflik antara TNI/Polri, maka sebenarnya konflik TNI/Polri dari sebelum Polri keluar dari TNI sudah sering terjadi, hanya mass media dan era keterbukaan yang membedakan kondisi sekarang dengan kondisi masa lalu. Artinya dua masalah konflik dengan reposisi Polri tidak Berta merta ada korelasi yang kuat dijadikan alasan. Solusi konflik sangat tergantung kemauan dan kepiawaian style seorang Kasatwil baik dari unsur TNI maupun Polri untuk mengintegralkan interaksi dua institusi dimaksud.
b. pabila yang dijadikan alasan dalam rangka menciptakan mekanisme kontrol atau pengawasan kinerja dan penggunaan anggaran Polri yang dilatar belakangi bahwa Presiden tidak mungkin melaksanakan kontrol secara langsung kalau ada penyimpangan oleh Polri karena kesibukan protokoler Kepresidenan. Maka sebenarnya ditubuh Polri secara normatif hukum telah tercover dengan terbitnya PP RI No. 2 tahun 2003, PP RI No. 3 tahun 2003 serta peraturan Kepala Kepolisian Negara RI No. Pol. : 7 tahun 2006 yang secara integral telah diatur tentang kewajiban dan larangan personil Polri balk dalam kinerja kedinasan maupun interaksi dengan masyarakat. Disamping itu secara eksternal telah terbentuk Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) yang diketuai oleh Menkopolhukam dengan anggota diantaranya Niendagri dan Menteri Hukum dan Ham, belum termasuk pengawasan oleh LSM, akademisi, tokoh masyarakat, tokoh agama, anggota legislatif, maupun masyarakat umum yang menjadi bagian dari interaksi Polisi.
c. Apabila yang dijadikan alasan untuk menghindari Polri sebagai alat kekuasaan Presiden dan menghindari kepentingan intervensi oleh Presiden terhadap tugas-tugas Kepolisian. Maka justru terjadi kontradiktif alasan dimaksud, karena justru posisi Polri dibawah suatu departemen misalnya Departemen Dalam Negeri, tentu intervensi cenderung semakin banyak, karena secara garis birokrasi Menteri Dalam Negeri juga dibawah Presiden, belum termasuk kalau Gubernur/Bupati melakukan suatu tindak pidana maka cenderung proses penegakan hukum justru akan mengalami hambatan, karena adanya intervensi yang cukup signifikan.
Terlepas berbagai kepentingan dan alasan yang melatarbelakangi dengan tidak bermaksud mengabaikan nilai-nilai demokrasi, penulis berpendapat bahwatidak pada tempatnya dan tidak pada saatnya sekarang ini kita setback membicarakan kedudukan Polisi tidak langsung dibawah Presiden. Alangkah indahnya berbagai kalangan memikirkan bagaimana Polisi bisa maju dan profesional dengan bertumpu pada kinerja yang berbasiskan anggaran dan pemenuhan harapan masyarakat.
Bertitik tolak dari uraian diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa kedudukan Polri dibawah Presiden seperti sekarang ini merupakan manifestasi dari tuntutan reformasi Polisi 'sipil yang terbaik, ideal, mandiri dan berdasarkan konstitusi yang diharapkan akan terwujud tugas-tugas Kepolisian yang profesional dan proporsional. Disamping itu untuk memasukkan Polri di bawah Departemen Dalam Negeri atau Departemen Hukum dan Ham, maka pemerintah akan berbenturan dengan beberapa aturan normatif :
a. Dalam konstitusi amandemen UUD 45 pasal 30 ayat (3) dan ayat (4) sudah disebutkan bahwa TNI adalah aparat pertahanan memelihara keutuhan NKRI, sedangkan Polri adalah aparat keamanan dan ketertiban masyarakat serta penegakan hukum. Sehingga ada dua departemen yang diemban Polri yaitu Depdagri dan Depkum dan Ham. Sehingga apabila posisi Polri dibawah salah sate departemen atau Depkum dan Ham ataupun Dephan tentu bertentangan dengan amanat konstitusi.
b. Tap MRP No. VI tahun 2002 tentang pemisahan TNI dan Polri.
c. Tap MPR No. VIII tahun 2000 tentang peran TNI dan Polri.
d. UU No. 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia khususnya pasal 8 ayat 1 "Kepolisian Negara RI dibawah Presiden".
Secara teori memang dibenarkan keempat aturan normatif tersebut dapat diubah, namun pada tataran kepentingan politik bukan pekerjaan mullah untuk mewujudkan wacana reposisi Polri dengan merubah banyaknya UU yang berbenturan, belum termasuk kalau kita berkaca pada sejarah bahwa pemisahan TNI dan Polri sebagaimana yang tertuang dalam Tap MPR No. VI dan VII tahun 2000 sebagai sebuah fenomena tuntutan reformasi masyarakat lugs Indonesia yang menghendaki Polri mandiri dan jauh dari intervensi kepentingan dengan suatu harapan Polri profesional khususnya dalam penegakan hukum, sedangkan wacana reposisi Polri yang dijadikan polemik saat ini berangkat dari sebuah kepentingan politik pemerintah yang kontraproduktif bahkan terjadi kemunduran dari sebuah wacana yang reformis.
|
|
|